Cerita KU Hidup KU Mati KU Semua Milik-NYA
Aku pengidap kanker otak stadium akhir. Aku tak pernah mengetahui tentang penyakitku ini, hinngga akhirnya kecurigaan ku bagai malapetaka. Aku tumbuh di keluarga yang baik, dan penuh kasih sayang. Tapi sifat tempramental ku tidak akan pernah hilang dari dalam diriku. Aku banyak di didik untuk menjadi orang yang keras oleh kakekku. Beliau seorang mantan pensiunan pejuang bangsa yang hobby sekali memelihara ayam dan burung. Dulu saat beliau masih hidup, hampir setiap hari aku diajaknya untuk memberi makn burung, memandikan ayam, ataupun sekedar berjalan-jalan mengelilingi peternakan babi. Kenangan indah bersamanya tak akan aku lupakan. Beberapa minngu sebelum beliau meninggal, aku dijadikannya musuh, dia selalu membuatku cemburu dengan memberikan seluruh perhatiannya pada keponakanku. Aku marah, dan berminggu kami tak berbicara. Hingga sore itu , beliau meninggal. Aku shock, sangat-sangat shock. Aku terus diam, menangis, dan menyesali perbuatanku karena mendiamkannya.
Beberapa bulan setelah beliau meninggal, aku pindah. Aku ingin melupakan semua kesedihan. Aku mulai menata kembali perasaanku di tempat yang baru. Beberapa saat aku mulai merasa normal, bahagia dan akan tumbuh menjadi gadis yang biasa saja. Sifat aktif, lasak, berani rasanya pantas untuk menggambarkan karakterku. Tapi entah kenapa aku mulai merasakan hal-hal yang janggal. Aku mulai kehilangan keseimbangan berjalan, mulai merasakan pusing yang berlebihan, dan terkadang tiba-tiba sekujur tubuhku melemas tak berdaya. Awalnya aku mengabaikan hal itu, dan menganggapnya biasa saja. Tapi hal itu terus berlanjut dan kini menyerang mataku. Penglihatanku semakin kabur, minus ku terus bertambah, dan itu sangat mengganggu. Aku mencoba berkonsultasi dengan dokter, dan melalukan pemeriksaan. Diagnosenya sudah keluar dan aku mengidap Kanker Otak stadium akhir. Serasa dunia telah berakhir. Aku belum mau mati sebelum mendapatkan dan merasakan apa itu cinta.
Aku ingin mencintai dan dicintai oleh satu orang. Saat aku berharap seperti itu aku langsung mendaptkan jawabannya. Dia seperti ibu peri. Keesokan harinya matahari bersinar cerah. Sesosok asing datang menghampiri, sosok ceria, sosok yang sok tahu, dan sosok yang selalu membuatku jengkel. Namun semakin lama aku mengenal dia aku, semakin aku menaruh hati padanya. Namun sekali lagi badai menimpaku.
Hal itu sudah lama berlalu, terakhir aku melihatnya pada tgl 24. Waktu itu hujan, ketika tiba-tiba ada telefon berdering yang mengabarkan bahwa dia sedang di ruang ICU. Seketika air mata jatuh deras, sederas hujan diluar. Aku tak menghiraukan diluar ada badai atau tsunami sekalipun, aku menerobos guyuran hujan demi dia. Dia menjadi korban kecelakaan, dan berjuang antara hidup dan matinya. Di perjalanan aku hanya berdoa tanpa berharap berfikir yang tidak-tidak. Saat sampai di rumah sakit, aku hanya melihat ibunya terlihat sangat khawatir. Aku memeluknnya, suasana yang mengharu biru membuatku tegang. Seorang dokter setengah baya membuka pintu dan mengatakan bahwa dia telah tiada. Seketika tangisku semakin menjadi-jadi, sekujur tubuhku melemas tak berdaya. Saat itu aku hanya ingin menangis dan mengatakan bahwa dia jahat, yang begitu tega meninggalkanku dalam kesendirian. Di dalam otakku tergambar semua kenangan indah yang pernah kami lalui, dan itu membuatku sangat sakit, hatiku terluka. Setelah pemakamannya, entah bagaimana kaki ku melangkah menuju sebuah kamar yang tak asing bagiku, kamarnya. Aku memasukinya, dan mengenang semua kejadian yang telah berlalu, hingga akhirnya aku menemukan sebuah buku hariannya. Dihalaman terakhir ada secarik kertas yang ingin ditujukannya padaku. Ungkapan perasaannya, dan semua nasihat nya padaku. Saat itu tenggorokanku terasa tercekak. Air mata pun berlinang. Hal yang kusesali dan tak pernah ku sadari, bahwa aku tak pernah mengatakan bahwa aku menyayanginya. Saat dia telah pergi betapa aku sangat- sangat menyesal tak pernah mengatakan hal itu. Bahkan secarik fotonya saja pun tak pernah ku miliki, tapi sketsa wajahnya selalu terekam dalam otakku.
Entah sejak kapan aku mulai dekat dengannya. Namun pada awalnya aku sangat membencinya, karna sikapnya yang sok tahu, dan sok akrab. Seiring berjalannya waktu, aku merasa sangat cocok dengan kepribadiannya yang menyeanangkan. Aku mulai mendengar kata-katanya, dia selalu membantuku dalam setiap masalah, dia yang selalu memberiku semangat, dia yang selalu bisa membuatku tertawa, dan dia juga yang selalu mendengarkan ceritaku. Pribadinya itu yang selalu membuatku kagum. Kematiannya secara mendadak yang sampai sekarang belum bisa aku terima. Apalagi, saat itu hujan. Dia pernah mengatakan padaku bahwa setiap kali hujan turun, itu menandakan dia ulant tahun. Awalnya aku tidak suka hujan-hujan, tapi sore itu dia mengajakku dan aku sangat menyukainya. Tapi sekarang setiap hujan turun tidak ada lagi yang akan menemaniku. Bagiku hujan adalah tanda duka cita.Bila aku diberi kesempatan untuk bertemu padanya, aku hanya ingin memeluknya dan mengatakan aku menyayanginya. Hanya itu.
Entah mantra apa yang digunakannya, sehingga semua orang dekat padanya. Hal itu yang kadang membuatku cemburu, dan tiba-tiba ngambek. Dia terus membujukku, supaya tidak ngambek lagi, dia membuat lelucon yang bisa membuatku tertawa. Aku yang tak pernah jujur padanya bahwa aku ngambek karena perasaan cemburu. Tapi kalaupun aku jujur pasti dia tidak akan membuat lelucon lagi.
Mengetahui hal yang pahit tak mudah bagiku untuk langsung menerimanya. Jiwaku terus saja memberontak walaupun aku sudah berusaha tegar. Dalam beberapa waktu, aku mencoba menenangkan diri dan menasehati diri sendiri. Itu cara terampuh terakhir yang kucoba. Untuk beberapa saat hatiku kembali membaik, tapi itu tak akan bertahan lama. Beberapa jam berlalu, dan kegundahan pun datang kembali. Hanya ingin marah, menangis, teriak, dan melakukan semua kegilaan yang diluar logika.
Kesedihan itu semakin bertambah ketika aku mengingat semua perjalanan indah bersama dia yang sekarang dan seterusnya tidak akan pernah terjadi lagi. Aku memang tak pernah jujur tentang perasaan ku. Aku pikir untuk apa jujur, kalau semuanya akan membuat segalanya berubah. Dalam kondisi seperti ini teman yang akan jadi bulan-bulanan curhat adalah laptop yang selalu setia menunggu ku.
Banyak hal yang ingin ku tulis, banyk hal yang ingin kuungkapkan tapi tak bisa. Tapi, mungkin ini yang terbaik untuk semuanya. Yang ingin kulakukan hanya, melupakan hal-hal yang membuat hatiku miris. Hal ini sangat-sangat membuatku gila.
Sempat aku berfikir, beginikah keegoisan manusia?, tapi kemudian aku menyadari bahwa aku yang egois. Aku hanya mementingkan diri sendiri. Dan memang mungkin aku yang ditakdirkan untuk sendiri. Bagiku itu cukup adil mengingat penyakitku yang membuatku gak akan bertahan lama. Hal ini yang membuat aku sering merenung, menyendiri, dan membantu beberapa temanku.
Untuk hal membantu kesusahan teman, dan mempersatukan dua insan, mungkin diwariskan oleh Dia, yang udah mendahului aku. Orang yang aku jadikan sahabat, yang selalu bohong untuk kebaikan orang, yang selalu mengorbankan perasaannya seniri. Begitu juga aku. Disaat seperti ini hanya dia yang kuiingat. Aku berharap dia selalu mengawasiku, dan membantuku. Walaupun dia udah berada jauh, tapi aku tetap menyimpannya dalam hati. Itu hal yang bisa menguatkanku menjalani cobaan hidup.
Aku hanya ingin dia berjanji, dia yang akan menunggu ku didepan pintu surga. Aku gak tahu kapan Tuhan akan mengambilku, mungkin sebentar lagi. Aku dan dia dekat dengan ibu. Bagiku Ibu adalah segalanya, mungkin dia juga berfikir seperti itu. Dalam masalah ini, sebelum aku menceritakan semuanya, ibuku sudah tau apa yang terjadi. Hal yang bisa membuatku meneteskan air mata, dan dia kan memelukku, tapi saat dia bertanya, aku akan berbohong dan dia juga tahu itu.
Di surga kelak, aku hanya ingin bersama dia. Sekarang dia sudah menjadi bintang di langit. Yang akan selalu tersenyum padaku. Semua yang kulakukan dan dia lakukan bukan yang terbaik buat kami, tapi kami selalu berbuat untuk kebaikan orang lain walaupun kami yang harus menadapat pahitnya hidup.
Kesedihan itu semakin bertambah ketika aku mengingat semua perjalanan indah bersama dia yang sekarang dan seterusnya tidak akan pernah terjadi lagi. Aku memang tak pernah jujur tentang perasaan ku. Aku pikir untuk apa jujur, kalau semuanya akan membuat segalanya berubah. Dalam kondisi seperti ini teman yang akan jadi bulan-bulanan curhat adalah laptop yang selalu setia menunggu ku.
Banyak hal yang ingin ku tulis, banyk hal yang ingin kuungkapkan tapi tak bisa. Tapi, mungkin ini yang terbaik untuk semuanya. Yang ingin kulakukan hanya, melupakan hal-hal yang membuat hatiku miris. Hal ini sangat-sangat membuatku gila.
Sempat aku berfikir, beginikah keegoisan manusia?, tapi kemudian aku menyadari bahwa aku yang egois. Aku hanya mementingkan diri sendiri. Dan memang mungkin aku yang ditakdirkan untuk sendiri. Bagiku itu cukup adil mengingat penyakitku yang membuatku gak akan bertahan lama. Hal ini yang membuat aku sering merenung, menyendiri, dan membantu beberapa temanku.
Untuk hal membantu kesusahan teman, dan mempersatukan dua insan, mungkin diwariskan oleh Dia, yang udah mendahului aku. Orang yang aku jadikan sahabat, yang selalu bohong untuk kebaikan orang, yang selalu mengorbankan perasaannya seniri. Begitu juga aku. Disaat seperti ini hanya dia yang kuiingat. Aku berharap dia selalu mengawasiku, dan membantuku. Walaupun dia udah berada jauh, tapi aku tetap menyimpannya dalam hati. Itu hal yang bisa menguatkanku menjalani cobaan hidup.
Aku hanya ingin dia berjanji, dia yang akan menunggu ku didepan pintu surga. Aku gak tahu kapan Tuhan akan mengambilku, mungkin sebentar lagi. Aku dan dia dekat dengan ibu. Bagiku Ibu adalah segalanya, mungkin dia juga berfikir seperti itu. Dalam masalah ini, sebelum aku menceritakan semuanya, ibuku sudah tau apa yang terjadi. Hal yang bisa membuatku meneteskan air mata, dan dia kan memelukku, tapi saat dia bertanya, aku akan berbohong dan dia juga tahu itu.
Di surga kelak, aku hanya ingin bersama dia. Sekarang dia sudah menjadi bintang di langit. Yang akan selalu tersenyum padaku. Semua yang kulakukan dan dia lakukan bukan yang terbaik buat kami, tapi kami selalu berbuat untuk kebaikan orang lain walaupun kami yang harus menadapat pahitnya hidup.
Komentar
Posting Komentar