Hujan
Leburan sinar senja matahari
tertutupi gumpalan-gumpalan awan hitam. Tiupan semilir angin yang lembut
menyentuh kulit, membuat bulu-bulu halus ditangan merinding. Rintik-rintik air
hujan mulai jatuh membasahi bumi. Bentuknya yang tajam seperti jarum dan seketika
pecah tatkala menyentuh kerasnya aspal jalan. Hujan yang jatuh perlahan dan
mulai menderas. Menciptakan gelombang dengan frekuensi beragam. Ku dongakkan
kepalaku keatas, kulihat butiran-butiran itu menetes di lapisan kacamataku,
menciptakan embun yang membuat pandangan menjadi kabur.
“Porque
Speramo, Buon Compleanoos” cetusku sesaat.
Dia
hanya mengernyitkan dahinya. Alis matanya naik. Sesosok pria sebayaku yang
masih mengenakan seragam sekolah. Tubuhnya kecil dan tidak berisi. Tingginya
sama sepertiku semampai. Membopong tas
sekolah hitam yang tak kelihatan berat. Kedua matanya menyipit dibalik kacamata.
“Waaah
hujan. . .selamat ulang tahun!!!” ucapku sesaat setelah melihat keheranannya.
“Yakin
kita mau hujan-hujan?? Emang siapa yang ulang tahun” tanyanya.
“Yakin
dong, aku suka hujan. Harusnya aku yang nanyak gitu, yakin mau hujan-hujan??”
jawabku singkat.
“Yakin
lah, aku udah biasa hujan-hujan. Eeh, emang siapa yang ulang tahun??”
timpalnya.
“Ada
seseorang, dia bilang kalo hujan berarti dia ulang tahun, jadi aku ucapin aja.
Tapi orangnya udah nggak ada” suaraku lirih. Aku melihatnya sibuk sendiri
mengeluarkan semacam mantel tas anti hujan. Dia tampak kesusahan.
“Yaah,
makin deras.” langkah-langkah kakinya dipercepat, seakan khawatir akan basah
kuyup. “Mau berteduh dimana kita?? Mau jalan-jalan lagi??” sambungnya lagi.
“Nggak
usah berteduh, aku kepingin hujan-hujan. Emm kalo jalan-jalan ayook. Jangan
harap aku menolak kalo diajak jalan-jalan” pampangku panjang.
“Tapi
udah makin deras ini, berteduh aja dulu, atau langsung pulang aja.” tubuhnya
yang kecil semakin khwatir. Titik-titik air yang membasahi kaos putihnya mulai
merata.
“Yaudah
terserah deh” ucapku tatkala sedang menyebrang. Tanpa basi-basi langsung
kuhentikan angkutan yang tampak tak berpenghuni. Ku nyamankan cara dudukku.
Kaca jendela yang berembun perlahan ku usap, dan ku buka lebar-lebar. Angin
yang semilir menyentuh halus. Kedua benik mataku menerawang lurus ke depan
dalam sebuah lamunan.
“Tapi
apa yang ditanyak Tia??” Suaranya memecahkan lamunan sore itu. Matanya menatapku
dangkal.
“Nggak
ada cuman aku aja yang nanyak sama Tia tentang cewek yang tanyak tentang kita
itu. Udah gitu aja.” Ujarku padat. Kedua biji matanya masih menerawang dan
betanya-tanya tentang hal itu. Aku sendiri juga tidak mengerti tentang bersebarnya
gosip yang membuat hati wanita tersayat-sayat pisau silet. Dia diam, akupun diam
dalam kebisuan. Pembicaraan kami tidak pernah bersikap pribadi. Bukan tentang
aku, atau tentang dia. Namun tentang kami.
Perjalanan sore itu berlanjut
setelah kami transit angkutan. Dia mengoceh tentang semua yang dekat dengannya,
tentang si ini, atau si itu. Bagiku cerita seperti itu sudah umum. Sudah biasa.
Dan bisa dengan mudah ditebak apa akhir dari ceritanya. Matanya menatap
lurus ke depan. Atau mengolak-alikan tubuhnya melihat penyebab kemacetan.
“Gan,
makan ice cream yuuk” ajakku.
“Hah??
Dimana?? Udah jam setengah 6 looh, aku belum sholat ashar lagi” ujarnya.
“Di
swalayan dekat rumah aja, akupun belum sholat ashar” bela ku.
“Yaudah,
besok aja lah” jawabnya singkat.
“Eem
yaudah”
Jalanan tampak licin akibat hujan. Terdengar ban-ban kendaraan berdecit kuat. Dititik inilah akhirnya dia turun, tanpa
menoleh. Aku lihat dia dari kaca yang berhembun, semakin kecil dan menghilang. Jam
di tangan sudah menunjukkan pukul 06.40. Refleks aku turun ke sebuah swalayan
kecil. Perlahan aku membelah jalanan yang cukup ramai untuk bisa ke swalayan itu.
Pintu itu terdorong perlahan. Terasa lebih dingin dari diluar. Efek dari badan
yang basah-basah lembab bereaksi dengan udara dari AC. Sigap ku cari ice cream
rasa coklat yang biasa ku lahap. Setelah kubayar, kakiku memerintahkan untuk
keluar. Diteras swalayan itu aku berdiri memaku. Melihat rintik-rintik hujan
yang enggan untuk berhenti. Rasa coklat susu memenuhi mulut. Dingin dan manis.
Kembali aku termenung dalam kesendirian. Tiba-tiba kudapati sms dari seseorang
yang nomornya sengaja tidak ku simpan.
-Woy
*APA??
-Gak
papa haha
*oh
-lagi
apa kau??
*Lagi
kencan sama dia.
Tiba-tiba
sosok pria yang sebaya aku itu datang. Dia juga membeli ice cream yang sama.
Senyumnya yang kembang dibibirnya menciptakan lubang di kanan-kiri pipinya.
Senyumnya seperti lemparan lembing yang menusuk hati. Aku hanya terdiam.
Terheran dalam kebisuan. Sosok itu mirip sekali dengan temanku yang sudah
tiada, yang tadi kuucapkan selamat ulang tahun. Hanya saja dia tidak mengenakan
kacamata. Dia membuka bungkusan itu. Berdiri disampingku yang tetap menatap
heran. Kulitnya tampak lebih putih. Tanpa disadari, kami mengenakan kemeja yang
sama. Kemeja kotak-kotak biru dengan garis putih. Dia juga tampak lebih tinggi.
Aku hanya sebahunya. SMS balasan kembali masuk, dari orang itu lagi.
-Haha,
lanjutkan. Maf ya mengganggu.
Melihat
smsnya saja aku sudah muak, bahkan malas untuk membalas. Aku mengurungkan
niatku untuk membalasnya sekali lagi. Namun, dia merebut ponsel itu dari
tanganku.
*Kamu
siapanya Dita?? Kok sibuk aja sms-sms.
Dibalasnya
seperti itu. Kebingungan ini semakin menjadi-jadi. Apa mungkin aku sduah gila.
Dia adalah Teguh, temanku yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Mana
mungkin dia datang lagi, dengan penampilan yang berbeda.
-Temannya.
Kenapa??
*Teman
dari mana?? Kalo teman, kok nomormu gak ada disimpan Dita?
-Dari
dulu. Ya suka dia lah mau nyimpan atau nggak.
*Nggak
mungkin. Kalo teman pasti disimpannya.
-Musuh
nya
*Nggak
mungkin juga. Kalau musuh nggak akan mau dibalasnya.
-Jadi??
*Ya
nggak tahu. Kok malah nanyak aku. Siapa nama kamu??
-Paimin
*Ohh
yaudah. Nama pun katrok.
-Yaudah
lanjutu kencan kalian. Haha
*Kami
nggak kencan. Kamu tahu siapa aku sebenarnya??
-Nggak.
Siapa??
*Aku
kembarannya Teguh. Orang yang pernah disukai Dita. Tapi meninggal beberapa
tahun yang lalu. Orang yang selalu ada disetiap tulisannya. Yaudah. Jangan ganggu
Dita.
Adzan magrib berkumandang disetiap
toa-toa Masjid. Diserahkannya kembali Ponselku dengan mudah. Sedangkan otakku
masih dalam keadaan yang sesat seperti masuk dalam lingkaran hipnotis.
Tangannya yang dingin seperti es, menyentuh lembut pipiku.
“Jangan
bingung, jangan takut, jaga diri kamu baik-baik ya Dita. Aku nggak bisa
selamanya menjagamu” katanya dengan tatapan yang dalam. Aku masih bingung.
Tetap membisu tanpa sepatah kata apapun. Sosoknya pergi secepat kilat. Pergi
diantara kerumunan kendaraan. Hilang diantara hiruk pikuk orang berlalu lalang.
Dan hanya menyisakan kebingungan yang tak kunjung hilang.
Komentar
Posting Komentar