Titik Kecil


         
  Aku ingat beberapa menit yang lalu kau mengatakan “Kaktus tidak bisa merasakan sakit karena duri-duri yang ada ditubuhnya, kaktus hanya bisa menyakiti”, tapi itu bukan menjadi alasan aku harus membenci kaktus. Aku tahu itu adalah simbolisasi dariku. Begitu juga aku yang tidak terlalu menyukai Arwana. Aku juga tidak menyukai jenis musikmu yang aneh itu. Apa salahnya? Ini hanya persoalan kesukaan, kebiasaan, dan hobi yang berbeda. Apa berbeda itu salah? Aku rasa tidak. Toh aku juga tidak suka disama-samakan. Bukankah Tuhan menciptakan makhluk nya berbeda-beda juga agar bisa saling melengkapi.
            Ini bukanlah persoalan kita yang berbeda, dan pertengkaran di pagi buta, kemudian menyelesaikannya diujung senja hingga akhir malam dengan berdiam diri dengan suara tangisan yang mulai menyeruak, diiringi dengan kebohongan-kebohongan yang mulai terungkap. Ya, kursi bambu di ujung tempat itu yang tahu persis masalah-masalah bodoh kita. Bukan karena keegoisanku, dan keegoisanmu juga.
            Kau mengerti betul bagaimana aku. Lalu beberapa tahun yang akan datang, kau akan mengatakan diujung telepon “aku merindukanmu”. Ini hanyalah soal ruang dan waktu. Tapi seperti itulah sejarah. Lalu aku akan mengatakan, “Apa kau ingat roda-roda sepeda kita berputar mengelilingi jalan untuk melihat senja? Ingat dengan sawah-sawah itu?” dan diujung telepon juga kita akan menangis. Hanya saja saat ini aku menikmati kebersamaan yang tidak akan terulang kembali. Ya, aku menikmati makan sepiring berdua, saat uang di dompet bahkan tidak mau berkompromi. Aku menikmati saat bermain badminton dilapangan kecil itu, bahkan suara adzan yang menggema, dan langit yang mulai petang menjadi saksi bisu kebodohan kita. Kemudian kita akan tertawa gembira, dan kau tahu betul kalau aku akan bernafas dengan cepatnya seperti orang akan mati. Lalu hujanpun datang, dan kita menari-nari diantaranya. Kita suka hujan, dan hujan juga menyukai kita. Dibawah hujan, aku mengatakan “ayo sholat”, dan kitapun berjalan tergopoh-gopoh seperti anak kecil yang mencari induknya. Setelah itu kita akan sibuk dengan tugas masing-masing. Aku menikmati saat melihat kau marah ketika aku benar-benar jail. Aku juga menikmati bagaimana kau kentut, kemudian aku akan ngoceh-ngoceh tidak jelas dan kau hanya tertawa bahagia. Aku menikmati saat ditengah malam kita akan kelaparan, dan berjalan menyusuri jalan mencari makan. Aku menikmati saat menemanimu bermain dengan seonggok tanah dan butsir-butsir mu itu. Kemudian kau akan terlelap di sudut bangunan tua itu bersama tanah dan ikan-ikanmu.  Aku tahu kau akan merindukan aku yang selalu cerewet, dan menceritakan hal-hal yang tidak akan pernah lucu bagimu. Atau kau akan merindukan aku yang selalu saja minta dibelikan sebungkus lolipop, atau sekotak coklat, dan mie aceh. Ya, pasti kau akan mengingatnya. Lalu aku juga akan mengingat dan menangis diujung telepon lalu mengatakan lirih, aku merindukan nasehatmu yang panjang seperti khotbah sholat Jum’at itu. Aku juga mengingat saat kau yang selalu datang dengan muka cemas saat aku katakan aku sakit. Atau aku akan merindukan saat kau membelai lembut kepalaku, yang seakan-akan aku bayangkan aku adalah seekor anjing lucu, yang disayang oleh pemiliknya. Kemudian diakhir pembicaraan kau akan mengatakan “Cepat pulang”
            Apa salah jika terkadang aku teringat dengan masa laluku? Itu hanyalah peristiwa di masa yang silam, yang tidak bisa dilupakan. Hanya saja itu terekam dengan baik di memori otakku.            Toh peristiwa itu tidak akan terulang kembali. Lalu bagaimana dengan secangkir Cappucino dan seporsi pancake. Ya, masih kelihatan lezat. Namun sudah tidak jamannya lagi. Aku hanya mau secangkir teh hangat dan seporsi nasi belut di warung kecil itu. Kemudian, akan terdengar suara kita saling bercerita, dan kikikan kecil. Atau saat sedang bertengkar kita hanya diam saja, dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
            Apa kau tahu, ini bukan hanya persoalan mikro, tapi ini sudahlah menjadi persoalan yang makro. Beberapa jam yang lalu aku melihat tulisanmu yang mengatakan “Apa pedulimu?”, aku kenal betul dengan tulisan itu. Kau hanya mengulang apa yang kemarin aku katakan. Sakit bukan rasanya. Tapi kau juga harus menyadari bahwa saat kau mengenal dunia luar, kau akan merasakan rasa sakit yang lebih dari itu. Biarkan saja orang mengatakan kita hina, atau meremehkan kita. Aku mau kita berbuat hal yang salah terlebih dahulu. Kita mulai dari TITIK KECIL. Kau tahu, bahwa dunia butuh orang-orang berani? Lalu kenapa kau hanya berdiam diri, bahkan saat roda-roda sepedaku sudah berputar mengelilingi nol koma sekian persen dari wilayah di bumi. Jika kau tidak berani, aku yang akan maju duluan, walaupun aku menyadari betul ilmuku belumlah seluas ilmumu. Lalu jika kau akan maju bersamaku, aku yang akan berada disampingmu menjadi penyemangat yang akan selalu memegang erat tanganmu. Berfikirlah liar. Tidak ada yang salah dengan itu semua.
            Ini bukanlah persoalan fisika, atau matematika yang membahas logaritma atau integral yang membuat kepalaku pusing. Ini persoalan hidup. Ya, tidak usah aku jelaskan. Karena aku tahu ilmu mu tentang hidup lebih banyak daripada aku.
            Suatu hari dimasa yang akan datang. Saat kau benar-benar merindukan ku, carilah kaktus diujung senja atau ditengah purnama, maka aku ada dibaliknya. Lalu aku juga akan mencarimu di ujung aquarium dan menggorengnya. Jangan salahkan kenapa sendal jepit itu pergi, salahkan kenapa kau tidak mencegahnya. Dan aku juga tahu bahwa donat bukanlah mamalia. Lalu bagimana dengan secangkir coklat panas dan ayam bakar itu? Aku hanya akan menemuimu di warung usang itu.

 -Im Indonesian-

Komentar

Postingan Populer