Pelarian Tak Berujung

Aku bagaikan pecundang yang hanya ingin lari dari kesedihan. Bahkan untuk melihat kenyataan saja aku tak berani. Ku akui aku takut, dalam kesendirianku. Merasa selalu sendiri, dan tak ada yang bisa mengerti apa yang ku mau sebenarnya. Aku hampir gila karna hal ini. Beberapa Psikolog ku datangi, aku berkonsultasi dengan mereka, tapi mereka pun tak akan bisa mengatasi masalahku. Menurutku aku sulit ditebak, lain yang terlihat, lain pula yang ada di dalamnya.

Siapa yang menyangka, aku mengatasi kesedihanku dengan berbuat gila. Tertawa , dan merasa tak ada masalah, tapi hati tetap saja tak bisa dibohongi. Tetap saja aku menangis dalam tawa. Aku seperti berkepribadian ganda. Di sekolah aku bahkan terlihat seperti anak biasa yang ceria, aktif, dan terlihat baik. Itu salah satu bentuk penipuan yang sedang kubuat untuk membalaskan amarah dalam hati. Begitu setibanya dirumah, aku telah menjadi pribadi yang lain. Di rumah justru aku sering diam, mungkin dikira orang aku bisu. Berminggu aku tak mengeluarkan sedikit suara pun aku tahan. Di rumah aku juga menjadi pribadi yang pemarah. Aku bahkan tak memperdulikan sekitar. Aku lebih banyak mengurung diri di rumah. Menulis berlembar-lembar cerita atau membersihkan rumah.

Keadaan hatiku yang kurang baik kerap kali ku gunakan untuk merenung. Tempat pelarian terbaikku ada di atas seng panas. Aku akan menanjat dan membawa beberapa bantal, karpet dan selimut keatas seng. Aku pandangi betapa jauhnya langit dan betapa kecilnya aku. Aku terus memandanginya hingga berharap bisa melihat sosok Tuhan. Sahabatku sekarang telah bersamanya dan aku hanya sendiri. Tak akan ada lagi yang bisa melindungi dan memberikanku semangat.

Aku fikir aku saiko. Terus saja tidak bisa mengendalikan emosi. Puncak kenakalan ku waktu itu cukup membuat kedua orang tua ku berdecak. Kala itu, aku sering berkelahi. Bukan hanya dengan teman sekelas ku, bahkan orang yang 5 tahun lebih tua dariku pun ku lawan. Aku tak peduli kalau mereka lebih besar. Sosokku yang tomboy juga berawal waktu dia pergi. Dia sudah tidak ada berarti aku harus melindungi diriku sendiri. Aku sempat membenci makhluk berjenis laki-laki , tapi aku juga sadari kalau aku tidak pernah cocok bergabung dengan perempuan. Bagiku mereka sangat membosankan, terlalu sensitif, dan tak mengerti bagaimana aku.

Aku tak bisa selamanya lari dari kenyataan. Yang harus kuhadapi sekarang ya hadapi saja.

Komentar

Postingan Populer