Lintang Dan Mega
Siang terik membakar kulit kami yang
hitam. Bahkan efek cahaya matahari yang membuat rambut panas, kering dan serasa
memiliki gaya listrik statis. Kaki kami yang tak mengenakan alas juga merasa
terbakar karna harus bergesekan dengan aspal dijalanan yang sepi ini. Tangan
yang sama-sama menggenggam es campur, juga tak henti mengarahkan sedotan putih
itu kearah bibir yang merasa kehausan. Namanya juga anak-anak. Kala itu kami
masih duduk dikelas 4 SD. Dua anak kampung yang masih polos dengan dunia
gemerlap kota. Setelah pulang sekolah kami tak akan pernah lupa bermain
bersama. Sekedar minum es, atau main kasti di lapangan luas dekat sekolah yang
biasanya dipakai untuk arena latihan pacuan kuda.
“Lintang,
aku ambilkan satu” teriakku dibawah pohon jambu dibelakang rumah yang
bersebelahan dengan kandang babi. Bagi kami tempat ini adalah tempat yang
paling nyaman sedunia. Tidak panas, dan banyak angin berhembus sepoi-sepoi.
Maklum saja banyak pohon bambu disini.
“Tangkap
ini” perintahnya dan menjatuhkan 3 buah jambu isi yang nampak segar. Dengan
sigap aku mengembangkan bajuku membuat seperti kantong untuk menangkapnya.
“Udah
tang, turun”. Tidak perlu menunggu lama dia turun, dalam hal panjat memanjat
dia memang cekatan.
Kami
menikmati jambu yang isinya berwarna merah muda itu. Suasana disitu tidak
pernah sepi walaupun tidak ada orang. Maklum saja, suara daun bambu saling
bergesekan bisa menjadi instrumen paduan suara yang seakan ingin mengalahkan
Beethoven sekalipun, ditambah lagi suara babi yang tidak mau kalah. Tempat itu
bahkan tidak nampak menyeramkan walaupun terdapat kuburan yang paling luas
didesa kami.
Namaku Mega Aristanti. Dan pria
kecil itu adalah sahabatku Lintang Ardi Kustoro. Kami sekolah di SD kadipiro 2,
Jogjakarta, yang letaknya hanya sejengkal dari rumah. Kami mulai dekat sejak
kelas 2 SD. Aku ingat betul kala itu kami belajar sepeda bersama. Ya, dia tidak
pelit meminjamkan sepedanya yang berharga lima belas ribu rupiah itu denganku.
Giginya yang seperti jagung selalu terlihat saat dia tertawa. Perawakannya
kecil, namun lincah. Tingginya hanya sekupingku, kulitnya sawo matang dan
rambutnya sedikit ikal.
Kala
sore menjelang, dan langit sudah dihiasi oleh semburat cahaya matahari berwarna
jingga dan ornamen guratan awan abu-abu, kami akan segera berlari ke lapangan
menyaksikan matahari akan pulang ke peraduannya. Badan kami sudah berselonjor
di atas rumput, dengan badan yang masih kumal dengan debu yang tak enggan lagi
menempel dibadan kami. Jika sang surya telah bersembunyi dibalik gunung merapi,
kami akan pelan-pelan berjalan pulang melewati gang-gang sempit. Di rumah, kami
akan segera membasuh diri disumur samping rumah. Harus memompa air dulu kalau
ingin mandi. Setelah itu, kami akan kembali cekikikan pergi ke mushola untuk
sholat. Biasanya seusai sholat dia hanya pulang sebentar untuk mengambil buku
pelajarannya. Dan berlari lagi ke rumah nenekku untuk makan dengan lauk
seadanya, biasanya kami makan dengan nasi sisa jualan tadi malam, dan gudeg
buatan simbok.
***
Hari ini aku mulai hari dengan
ceria, seperti biasa aku menunggunya didepan rumah. Sepertinya hari ini dia
terlambat bangun. Sudah sekitar 10 menit aku berdiri, tapi dia tak kunjung
datang. Mataku berseringai tajam tatkala gendang telingaku menggetarkan suara
hentakan sepatu manusia yang bergesakan dengan tanah. Kulihat dia
tergopoh-gopoh.
“Huuh,
capek. Ayok Meg nanti kita telat” ujarnya kelelahan. Seketika aku tertawa
dengan penampilannya pagi ini. Rambutnya disisir klimis menggunakan minyak,
entah minyak rambut atau minyak sisa penggorengan.
“Looh,
kok malah ngguyu (ketawa) to??” alisnya terjingkat mendengar suara cekikikanku.
“Tang,
kamu itu pake minyak rambut opo minyak jelantah kok rambutmu kui lunyu tenan
(licin kali) ?” timpalku mengejeknya. Cara dia mengenakan seragam pagi ini pun
lain. Bajunya yang semrawut tampak dimasukkan ke celana tanpa ikat pinggang. Ia
mengancing bajunya sampai atas hingga terkesan mencekek leher.
“Hash,
kamu ini ngenyek aja og. Yo wis ayok ndang mangkat mengko telat (kamu ini
ngejek aja, ayok buruan berangkat nanti terlambat)” jawabnya kesal.
Pelajaran pertama dikelas hari ini
adalah sejarah. Guru kami bernama pak Tumijo. Perawakannya gendut, dengan
tinggi semampai, dan berkulit sawo matang. Kalau berjalan gayanya seperti donal
bebek. Namun beliau adalah sosok yang baik dan tidak mudah marah dimata
muridnya. Seperti biasa beliau menceritakan tentang kerajaan Majapahit. Tentang
sumpah palapa dan patih gajah mada. Kami cekikikan kecil karna retsleting
beliau kurang naik. Namun berkat ulah Lintang cekikikan itu terdengar beliau.
“Eh,, liat itu, nanti burungnya pak Tumijo mabur (terbang)” canda lintang. Aku,
Ningrum dan Poniman tidak bisa menahan geli mendengar caranya berbicara.
Sesosok itu mendatangi kami yang sedang cekikikan geli.
“Ada
apa ini kok malah ketawa-ketawa?” logat jawanya sangat kental. Kami tidak
menjawab. 4 pasang mata bola kami hanya tertuju kepada retsleting celana yang
kian lama kian turun. Sepertinya beliau menyadari dengan hal itu. Otaknya
mungkin langsung memerintahkan untuk berbalik arah dan segera membenahi. Kami
semakin cekikikan geli.
“Pon,
Ketok? (nampak) warna opo??” tanya Lintang yang senyam-senyum.
“Ketok
tang, ireng (hitam) ketokke” jawabnya polos tanpa ekspresi yang membuat tawa
kami semakin menjadi-jadi.
***
Ini adalah tahun terakhirku di kota
Jogja, sebelum akhirnya aku kembali ke Medan. Disini aku dan keluarga hanya
menetap selama empat tahun, karna ayahku harus menyelesaikan studi S-2nya
dengan biaya yang pas-pasan. Mungkin aku akan sangat kehilangan Lintang di
Medan nanti.
***
“Megaaa,
dolan (main) yuk” ajaknnya.
“Arep
dolanan opo (mau main apa) ??” ujarku singkat
“Pasaran
(masak-masakkan), dodol susu (jualan susu)” dia menunjukkan cairan yang
menyerupai susu padahal itu adalah air cucian beras, dan plastik-plastik bekas.
“Ayook,
eh aku juga punya cat putih, iso to (bisa kan)??” tanyaku.
“Isoo-isoo,
yoo gek ndang (yok cepat)”
Aku
membongakar ruang lukis ayahku, dan mendapati cat warna putih. Segera kami bawa
lari ke tempat biasa. Tempat disebelah kandang babi. Yang walaupun bau-baunya
membuat mules, tapi disitu adalah tempat paling nyaman. Segera aku mencongkel
kaleng cat yang tampak susah dibuka dengan menggunakan obeng. Hup!. Cairan itu
meloncat mengotori rambutku, terasa lengket. Cat itu meloncat saat aku berhasil
membuka tutupnya. Disaat itu juga ibuku yang kala itu seperti nenek sihir
datang seperti malaikat pencabut nyawa. Dari auranya sudah tidak enak. Langsung
dia mengeluarkan ultimatum yang sungguh memekikkan telinga dan menyeretku ke
sumur. Aku hanya bisa menangis menjerit-jerit karna dimarahi. Tarikannya
membuat lenganku sakit, punggungku habis dipukulinya. Disumur aku disirami
berember-ember air yang membuatku gelagepan. Aku hanya bisa melihat Lintang
yang memohon-mohon pada ibukku untuk menghentikan perbuatannya. Dia tampak
menitihkan air mata, melihat aku menangis. Ibukku mengusirnya, begitu juga aku
yang menyuruhnya pulang. Bekas cat yang menempel itu tidak bisa hilang dalam
sekejap, butuh waktu sebulan lamanya. Selama sebulan itu juga rambutku seperti
dipenuhi uban. Aku juga dilarang untuk bermain bersama Lintang lagi.
***
Akhirnya hari yang tak pernah
kunantikan datang menghampiri. Besok adalah hari dimana aku harus meninggalkan
Jogja. Ibukku sudah terlalu sibuk dengan urusan kemas-kemas. Dan hal itu ku
jadikan kesempatan untuk menghabiskan malam terakhir dikota yang penuh kenangan
ini. Aku menghampirinya dirumahnya yang sederhana, dan diterangi cahaya lampu
teplok.
“Lintang...
Lintang” sahutku didepan rumahnya. Terdengar suara kaki yang perlahan berjalan
dan membuka pintu yang terbuat dari kayu itu. Ku lihat Lintang keluar, dan
tersenyum.
“Mega,
ono opo? (ada apa)” tanyanya heran.
“Tang,
neng lapangan yoo ndelok lintang (bintang)” ajakku. Dia tidak menjawab. Tanpa
alas kaki kami berlari menuju tanah lapang yang jaraknya hanya 100 meter dari
rumah. Rumput yang tumbuh subur dan hijau ditanah lapang itu, membuat kami
selalu merasa nyaman bila membaringkan badan kami sekedar untuk lenyeh-lenyeh
(santai).
Malam
itu, aku yang mulai pembicaraan.
“Tang,
aku sesuk wis kudu lungo (aku besok udah harus pergi)” tenggorokanku terkecat
mengatakan hal itu saja.
“Aku
wis ngerti og Meg (aku udah tahu kok Meg)” katanya santai seperti tidak ada hal
yang membuatnya sedih.
“Yen
kowe neng Medan Kangen aku delok wae Lintang neng langit, yen aku kangen ro kwe
aku delok wae mego (Kalau kamu kangen aku lihat aja bintang dilangit, kalo aku
kangen sama kamu aku juga akan melihat awan dilangit)” jabarnya.
“Lintang
ro mego? Ra tau ketemu le. Lintang onone mbengi, mego onone awan. Engko neng kono
mesti aku ra nduwe konco sing iso dijak dolanan koyo kowe tang (Bintang dan
awan? Nggak akan pernah bertemu. Bintang ada dimalam hari, sedangkan awan
adanya disiang hari. Nanti aku disana pasti nggak punya kawan yang bisa diajak
main kayak kamu tang)” timpalku.
“Sing
penting kowe eling karo aku (yang penting kamu ingat sama aku)” katanya
Langit
malam itu nampak cerah, dan penuh dengan taburan kelap-kelip bintang yang
menghiasi. Hal itu sangat bertolak belakang dengan keadaanku yang tidak ikhlas
dengan keberangkatanku besok. Malam ini itu aku nggak bisa tidur. Mengenang
masa-masa bermain bersama Lintang, dan mulai besok tidak ada lagi sosoknya.
Pagi itu warna langit lembayung. Aku
sudah harus mandi dan bersiap dengan keberangkatan ini. Perasaan hatiku benar-benar
tidak baik. Terasa lembab. Jam 09.00 aku harus segera pergi ke bandara. Ibu dan
ayah sudah sibuk wira-wiri mengangkat barang. Sedangkan aku hanya duduk
termenung dikursi bambu panjang diteras depan rumah. Terkadang
celingak-celinguk mencari kedatangan Lintang yang tak kunjung menampakkan
batang hidungnya. Aku sudah harus berpamitan dengan simbok yang sepertinya tak
rela melihat cucunya pergi jauh disaat umurnya kian menua. Belum sampai
klimaksnya saja, air mataku sudah meleleh dan mebasahi pelupuk mata.
“Bu,aku
ingin menunggu Lintang datang” ujarku pelan. Kala itu ibukku tak mau tahu kalau
aku berat meninggalkan kota Jogja. Dari arah utara, aku melihat anak itu
lari-lari tegopoh-gopoh membawa sebuah botol kaca kecil.
“Lintang....”
ujarku pelan.
“Maaf,
Mega aku terlambat. Tadi aku kesawah dulu untuk buat kan ini”, dia menyerahkan
sebuah botol kaca yang isinya sempritan yang terbuat dari batang padi muda, dan
bonekah-bonekahan yang terbuat dari serabut padi yang dibentuk menyerupai
wayang. Dia memengang lengan ku erat, layaknya anak kecil yang tidak ingin
berpisah dari orang tuanya. Hal itu membuatku lebih sedih, tatkala dia menangis
dan memelukku. Kami memang masih kecil, namun kami tahu makna persahabatan.
“Ayoo,
Mega masuk” ibukku menyuruhku masuk kedalam mobil, karena kami harus segera
berangkat. Aku juga menyerahkan jam tangan yang ada ukiran nama Lintang &
Mega. Mau tidak mau aku harus segera berngakat. Dia hanya nampak terpatung di
pelukan ibunya.
Mesin itu segera berderung, perlahan
roda mulai jalan. Aku membalikkan badanku kebelakang melihat dia yang terlihat
mengusap air matanya. Perlahan tapi pasti tubuhnya yang kecil sudah tidak
tampak lagi dan menghilang. Bukti kenangan terakhirku darinya hanyalah
sempritan dan wayang-wayangan ini, yang ku peluk saat sosoknya tak tampak lagi.
Dia adalah sosok yang pernah menghiasi ceritaku. Persahabatan kami akan
selamanya mengenang dihati, waupun kami tak pernah berjumpa lagi. Jika aku
rindu padanya aku akan melihat bintang yang ada dilangit. Terimakasih sudah
menjadi sahabatku Lintang ardi Kustoro.
Komentar
Posting Komentar