Memories in Paris


           
             
Aku kembali melangkahkan kakiku di jalan ini. Dan ini merupakan kedatanganku yang kedua di kota yang penuh kenangan. Paris adalah salah satu kota terindah didunia, yang romantis kata orang. Saat ini, Paris sedang musim gugur. Musim dimana perasaan cinta justru bersemi. Kota yang mempertemukan kami dalam pertemuan yang tidak diduga. Kota yang sangat ku benci tanpa alasan yang jelas. Kota yang kubenci karena musim gugurnya. Malam ini aku susuri jalanan Paris dengan perasaan yang campur aduk. Seketika aku berhenti melangkahkan kakiku. Pandanganku menerobos jauh ke sebuah taman yang penuh cahaya kelap-kelip menghiasi sang gemerlap malam. Tergambar jelas didalam kedua bola mataku seorang pria jangkung setengah baya memakai kacamata, dibalut jacket beludru coklat, dan bercelana jeans biru kehitaman. Disampingnya ku lihat, seorang bidadari kecil yang tersenyum dan membawa setangkai bunga lotus.
            Seketika tersirat dalam bayangan otakku kejadian 6 tahun lalu yang hingga kini sulit dipercaya. 6 tahun lalu aku datang ke kota ini, karena terpaksa. Bukan terpaksa tapi aku yang memaksakan diri. Mencoba melawan kutukan kebencianku pada kota yang kuanggap mengerikan ini. Kala itu statusku hanyalah seorang pecinta jalan-jalan yang nekat untuk melihat menara Eifeel yang kebanyakan orang bilang sangat mengagumkan.
            Hari pertamaku di kota Paris terlihat biasa saja, aku sibuk memotret objek-objek bagus ditempat ini. Saat itu aku menyadari, tidak ada yang bisa dibenci dari kota yang indah ini. Kembali ku langkahkan kakiku menelusuri jalan-jalan yang tak kukenal, tak jauh dari hostel tempat aku menginap. Pandanganku hanya lurus kedepan, dimana aku mendapati sebuah bangku panjang di sebuah taman sepi yang dipenuhi daun-daun yang berguguran. Aku menghampiri kursi itu. Mendudukinya dan berdesah lelah. Menyilangkan kaki dan menyikukan tangan. Fikiranku kembali terhanyut kedalam perasaan tak tentu tentu.
            Suara decitan mobil itu, menyadarkan aku dari lamunan. Dengan ligat aku terus berlari ke arah kecelakaan mobil itu. Bukan untuk membantu tapi untuk memotret kejadian yang menarik dan baru pertama kali kutemui di kota Paris. Dalam lensa kameraku, terfokus jelas korban itu adalah seorang pria muda yang meringis kesakitan. Ku lihat lelehan darah mencair mengalir  dipelipis hingga menyentuh alisnya yang tebal. Kacamatanya terdampar jauh dan terdapat retakan kecil disudut kacanya. Dari wajahnya, aku bisa melihat jelas bahwa dia asli orang Indonesia. Kamera kulepaskan dan tanganku menyentuh pelipisnya mengusap darahnya yang mengalir. Ia hanya diam dan mencoba menatapku dengan redupan mata yang tampak tak jelas. Orang-orang mengelilingi kami dengan tatapan aneh. Mungkin mereka menganggap kami seperti orang asing. Seorang bapak tua, dengan ketulusan hatinya mau mengantar kami ke rumah sakit terdekat. Ia mulai tidak sadar. Tatapan matanya mulai sayu dan meredup. Sesampainya di rumah sakit, ia langsung dibawa ke ICU dan mendapatkan pertolongan.
            Keadaannya hampir sadar, saat aku duduk disampingnya. Setengah jam kemudian, ia membuka matanya. “I need a drink” ucapnya lemah. Dia mencoba bangkit dari tempat tidurnya. Segera segelas air putih diseruputnya perlahan. Dia mulai menatapku samar-samar.
Dengan polos bibir mungilku nyeletuk “Hai !!”, dengan senyuman yang merekah dipipi menujukan kedua lesung pipiku.
“Who are you?? Thaks for your help” ucapnya seakan aku sangat berjasa.
“Aku Alina Soedibyo. Iya sama-sama. Kamu orang Indonesia kan??” ujarku riang.
“Eh ,, iya aku orang Indonesia. Kenalin aku Hadi Hartono.”. Kembali ia membaringkan tubuhnya yang terasa masih lemas.
“Kok kebetulan banget ya kita bisa ketemu dikota ini. Kamu mahasiswi disini??” tanyanya dengan senyuman yang mempesona.
“Nggak kok, aku cuman nekat aja datang kesini untuk ngilangin kutukan karena aku benci kota ini” kataku dengan nada cerewet. Bibirku terus nerocos, menjawab setiap pertanyaannya. Namun yang mebuatku heran adalah dia senang menertawakan caraku berbicara.
            Ini sudah seminggu perkenalan singkat kami di rumah sakit itu. Hari ini, dia berjanji mengajakku keliling Paris sebagai ucapan terimakasih karena aku telah membantunya. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah air terjun Gavamie yang merupakan air terjun tertinggi ke-7 didunia. Cipratan embun-embun air terjun Gavamie membasuh segar muka kami. Lelehan cahaya matahari yang berhambur dan menyatu dengan embun, menorehkan sebuah lukisan pelangi alami yang melintang dibawah langit biru abadi. Pelangi itu nampak pendek yang seakan bisa kita raih dengan tangan. Objek itu tak lepas dari jepretan kamera ku yang selamanya tak akan pernah terlupa di memory otakku yang merekamnya diam-diam.
            Aku melompat-lompat dan tanganku mencoba meraih pelangi itu. Seketika seorang pria itu datang membawa dua cangkir capucino hangat kesukaanku. Senyumnya yang melebar selalu bisa membuatku terpesona. Dibalik kacamata itu, aku lihat kedua matanya menatap aku dengan penuh kasih sayang.
“Lagi apa?? Kok lompat-lompat gitu??” katanya. Alis matanya terjingkat, menandakan keheranan melihat tingkahku yang seperti anak-anak.
“Enggak ada, aku cuman pingin tahu rasanya megang pelangi di Paris itu gimana?” dengan polos aku menjawab sambil tertawa menunjukkan kebahagiaan.
“Kamu ini aneh-aneh aja, pelangi mana bisa dipegang. Nih minum dulu” , dengan kilat kusambar segelas capucino yang baunya merangsang indra penciumanku.
            Siang itu, dia mengajakku makan siang disebuah restoran Indonesia yang menyediakan masakan khas tradasional Indonesia. Sate jadi menu pilihanku dan pasangannya Coffie hangat yang rasanya pas untuk mengobati dinginnya angin dimusim gugur. Belakangan setelah mengobrol dengan Hadi, kuketahui ia adalah seorang reporter salah satu stasiun TV di Paris. Dalam sebulan ini dia mengambil cuti kerja untuk sekiranya beristirahat karena jadwal kerja yang terlalu padat.         
“Habis ini mau kemana na??” ujar Hadi sambil melahap nasi goreng kesukaannya.
“Aku pinginnya ke Luxemburg, katanya tempat itu bagus banget pemandangannya kalau sore”
“Ya udah, habis ini kita kesana” ajaknya dengan semangat.
“Kira-kira ngabisin berapa jam untuk sampai sana??”
“Sekitar satu jam, dari sini nanti kita ke Stasiun bawah tanah yang kira-kira 15 menit dari sini” jelasnya spesifik. Aku hanya mengangguk mendengar Hadi menjelaskan perjalanan kami berikutnya.
            Jam ditanganku menunjukkan pukul 13.00 pm waktu Paris. Kami siap untuk berangkat menuju stasiun bawah tanah. Didalam kereta api, ada banyak sekali pemandangan indah dan daun-daun yang berguguran menyebabkan tanah dipenuhi dengan daun berwarna coklat kekuningan itu terlihat indah, yang tentunya tak lepas dari jepretan nakal kameraku yang selalu menemani dan mengabadikan setiap objek yang menjadi saksi bisu perjalananku di negari orang. Sembari aku sibuk memotret, Gama telah tertidur dengan ipod kesanyangan yang tak enggan ketinggalan kemanapun dia melangkah.
            Sesampainya di Luxemburg tepat jam 2.30 pm. Kami berjalan menelusuri lorong-lorong jalan yang dipadati oleh pejalan kaki yang seakan berjalan cepat dikejar waktu. Ada yang sendiri, bersama pasangan, bahkan keluarga. Musim gugur ini sangat bahagia.
            Luxemburg dikala senja menorehkan cerita tersendiri. Langit seakan menunjukan keceriaanya. Langit biru cerah perlahan memudar berubah lembayung senja, dengan guratan awan hitam keabu-abuan. Kami telah berada ditengah pepohonan yang tinggal ranting. Bangunan tua Universitas Luxemburg menjadi background percakapan kami sore itu. Aku mengenakan drees coklat dengan jas berwarna coklat tua yang dipadukan dengan sepatu boots kulit kecoklatan. Sedangkan Hadi mengenakan celana ketat hitam yang dipadukan dengan jas baldu merah tua dan sepatu pansus.
            Percakapan kami hanya sekedar berbicara tentang keadaan Indonesia yang tidak terlalu menunjukan perkembangan yang signifikan. Percakapan kami seketika berhenti manakala seorang pria setengah baya menyusup menghampiri kami ditengah percakapan yang membosankan itu.
“Sorry, disturb you Monseur. Do you want take some photo in here??” ujar sang photographer yang menawarkan jasanya. Aku hanya mengerutkan kening keheranan, ternyata di Prancis juga ada jasa photo seperti halnya di Indonesia. Hadi menatap ku tajam. Dari matanya aku mengerti betul, kalau dia mengajakku berfoto. Aku hanya mengangguk menandakan mau. Ada sekitar 5 photo berbagai gaya yang kami ambil. Aku merasa itu seperti photo prawedding yang berlebihan.
“Di, aku ngrasa ini berlebihan deh!!” menatap matanya lemah.
“Loh, berlebihan gimana? Ini untuk kenangan aja kok na, nggak serius” ledeknya dengan mata yang berbinar.
“Em, yaudah deh” jawabku dengan senyum terpaksa.
Aku dengar suara tertawanya semakin keras melihat ekspresi wajahku. Dia mencubit geram pipi kananku.
“Alinaa, jangan cemberut dong, ini cuman kenangan aja kok” bujuknya menganggap aku marah. Aku hanya membalasnya dengan pukulan lembut ditaman. Kami habiskan senja itu dengan menikmati sunset dipinggiran sungai tak jauh dari tempat kami berfoto, setelah foto yang kami ambil tadi telah jadi. Aku atau mungkin dia membayangkan andai kami seorang kekasih. Disaat seperti ini ingin rasanya menyandarkan kepala dibahunya atau sekedar menggenggam tangannya.
            Akhirnya kami memutuskan kembali ke hostel tempatku menginap yang letaknya tak jauh dari tempat tinggalnya. Namun sepertinya dia mempunyai rencana lain. Kami kembali dengan kereta menuju Paris. Kami menyempatkan tidur sekitar 45 menit didalam kereta, dan itu cukup untuk merebahkan setengah badan. Sesampainya di Paris, dia memanggil Taxi, yang kukira akan membawa kami pulang kerumah. Ternyata dugaanku benar. Menara Eiffel. Dia membawaku kesana. Tak bisa kubayangkan dan kugambarkan betapa kagumnya aku pada bangunan yang dirancang oleh Alexander Gustave Eifeel yang terinspirasi dengan struktur tubuh manusia. Setelah turun dari Taxi, tak henti-hentinya aku berdecak kagum dengan kerjaan Hadi. Aku dibawa ke tengah lapangan dimana Eifeel berdiri gagah dibelakang kami. Kami disambut dengan ratusan bunga mawar putih yang disusun rapi nan elok menawan. Dia menggandeng tanganku, membuat hatiku deg-degan. Disekitar terasa sepi, namun cahaya lampu dibeberapa titik membuat tempat itu nampak angker namun tetap romantis. Dia menekuk kakinya, memegang tanganku dan mengeluarkan sebuah cincin dengan desain simple namun tetap terlihat elegant.
“Alina Soedibyo, maukah kamu menjadi wanitaku?? Menjadi nona Hadi hartono??” ungkapan kata-kata yang sangat jujur dan bijak itu keluar dari bibirnya.
Aku merasa semua ini terlalu cepat, bahkan aku belum merasakan perasaan yang sama dengannya. Ini seperti film-film atau novel romantis yang pernah aku lihat dan baca. Dan sekarang aku yang mengalami hal itu. Aku masih tercekat. Bahkan hatiku binggung dan meragu tentang kesungguhan cintanya.
“Maaf di, tapi aku nggak bisa jawab sekarang. Aku masih ragu tentang pernyataanmu. Ini terlalu cepat. Bahkan kita belum saling mengenal satu lebih dalam. Aku belum bisa percaya itu” ujarku pelan. Dia berdiri memegang pundakku. Menara eifeel kini menunjukkan cahaya yang sesungguhnya. Cahaya yang tadinya redup kini menunjukkan kehebatannya memanjakan para penikmatnya.
“Iyaa, nggak apa-apa. Nggak harus sekarang kok. Aku percaya kamu. Dan akan sabar menunggu jawaban itu” jawabnya dengan perasaan yang halus dan sabar.
            Malam yang telah direncanakannya telah hancur karena ulahku. Kami akhirnya pulang. Mungkin dia kecewa karena aku tidak menjawab, namun tak kulihat ekspresi kekecewaan dari wajahnya. Selama perjalanan aku hanya diam. Malam itu, tidurku mulai tak tenang karna ulahnya. Disetiap langkah teringat dengannya, terlihat ekspresi wajahnya yang selalu bahagia. Aku hanya berharap dia tidak kecewa dengan keputusanku.
            Sudah seminggu sejak kejadian itu, kami tak saling mengabari. Hari ini aku memutuskan untuk datang ke apartemennya. Bisa dibilang rindu. Bisa dibilang khawatir dengan keadaannya yang menghilang tiba-tiba. Terkadang dia menghampiri mimpiku. Mencuri perhatianku. Bahkan mencuri hatiku. Kamarnya terletak di lantai 3 no 232. Sekitar 10 menit aku menggedor pintu apartemennya, namun tak kunjung ada yang membukanya. Akhirnya kuputuskan untuk menanyakannya ke resepsionis.
“Permisi, pemilik apartemen di lantai 3 no 232 kemana ya??” tanyaku pada seorang penjaga di meja resepsionis dengan menggunakan bahasa Prancis yang terbata-bata.
“Tunggu sebentar yaa!!!” ujar penjaga itu. Bebereapa saat kemudian.
“Apakah kamu Nona Alina Soedibyo??” sambung penjaga itu.
“Iyaa saya, Alina Soedibyo” kataku ragu.
“Tuan Hadi Hartono menitipkan sebuah amplop ini” , pemikiranku semakin macam-macam tak karuan dengan kepergian Hadi yang tiba-tiba.
“Terimakasih nona” ucapku singkat. Segera aku berlari menuju hostel. Dengan sigap aku membuka amplop itu. Ku dapati sebuah sapu tangan berwarna merah muda, dan secarik surat.
            Alina soedibyo,
Maaf bukan maksud untuk nggak pamit. Tapi ada kerjaan mendadak disuatu tempat, dan aku harus segera kesana. Jaga diri baik-baik. Aku akan tetap mengingat dan mengkhawatirkanmu dimanapun kamu berada. Tolong jawablah cintaku. Aku membutuhkan kepastian itu. Aku akan membuktikan betapa besarnya cinta ini. Datanglah ke Lapangan terbang Paris pada tanggal 13 jam 4 sore. Bawalah sapu tangan itu. Jika kau membalas cintaku lambaikanlah, jika kau mengabaikan cintaku hiraukan dan pergilah. Aku menunggumu
                                                                                                Hadi hartono.
            Nggak bisa terfikir kegilaan apa lagi yang akan dilakukannya. Fikirannya tidak bisa ditebak. Aku hanya menuruti isi surat itu. Tanggal 13 adalah lusa. Selama dua hari bayangannya menghantui fikiranku, dan dia terus masuk kedalam mimpiku.
***
Hari ini adalah tanggal 13. Dari jam 6 pagi hatiku sudah tidak tenang. Bahkan setiap malam selalu terjaga. Sekitar jam 10 setelah aku sarapan seadanya, aku bersiap. Kali ini, aku memilih mengenakan jelana jeans panjang dengan paduan kemeja. Tak lupa kumasukkan saputangan dan secarik surat itu kedalam tasku. Untuk menuju lokasi kira-kira membutuhkan waktu 45menit. Kali ini, aku sampai 2 jam lebih awal. Sengaja, untuk mampir ke toko jam tangan. Aku  ingin membelikannya sebuah jam tangan besi berwarna hitam dengan moden yang sederhana untuk dia yang istimewa. Cukup lama untuk memilih jam yang aku rasa cocok. Jam ditangan telah menunjukan pukul 13.15 pm. Aku melangkahkan kakiku ke lapangan udara Paris. Hanya terlihat tempat yang luas, dengan jalan beraspal yang sepi. Disekelilingnya terdapat rerumputan hijau. Terlihat seorang bapak yang menghampiriku, seakan mengetahui siapa aku. Aku menduga dia adalah teman kerja Hadi. Namun yang aku herankan apa yang akan dilakukan Hadi dilapangan terbang, sedangkan dia adalah seorang reporter.
“Kamu Alina Soedibyo kan?” seorang bapak yang menghampiri seketika menanyakan hal yang mebuatku kembali terheran. Belum sempat aku menjawab, bapak itu menunjuk ke arah langit.  Suara mesin dan baling-baling pesawat kecil itu merambat melalui udara menembus daun telinga dan menggentarkan gendang telingaku. Aku melihat sosok kacamata yang tak asing lagi. “Itu Hadi” teriakku memberitahukan kepada bapak itu. Beliau hanya tersenyum dan menatap persawat kecil itu yang menari-nari diudara. Lagi-lagi dia berhasil membuatku heran dengan kemahirannya mengendarai pesawat.
Aku ingat dengan sapu tangan itu. Dengan lihai tangan kananku merogoh tas, dan mengeluarkannya. Sapu tangan itu dengan sekejap mata sudah berada di ujung tangan kananku, dan bergerak dengan mengikuti arah angin yang berhembus kuat siang hari itu. Gerakan itu menunjukkan cintanya ku balas. Pesawat itu mengeluarkan asap putih seperti gumpalan awan. Dia semakin menggila dengan aksinya diudara. Pesawat kecil itu meliuk-liuk diudara. Aku tercengang. Dia membuat gambar hati diudara.
“Cepat turun !!!” teriakku dengan lambaian tangan. Dia hanya membalasnya dengan acungan jempol.
            Aku tak sabar menunggunya, segera ingin memeluknya. Namun, kejadian yang tak kusangka tiba-tiba terjadi ditengah aksinya. Pesawat itu berputar-putar tak tentu arah diudara, mengeluarkan asap hitam. Hadi kehilangan kendali. Pesawat kecilnya jatuh. Aku tertegun, dan berteriak histeris memanggil-manggilnya. Langkah kakiku ingin menuju ke pesawat yang ditumpanginya. Namun bapak itu mencegah, karna itu terlalu berbahaya. Tim pemadam kebakaran segera datang. Kakiku sudah melemas. Aku hanya bersimpuh dihimpunan rumput itu. Aku menyesal dan tercekat mengapa tidak menerima cintanya saat di menara Eifeel.
            Aku yang menyebabkan kecelakaan ini. Tangisku tak kunjung henti. Posisiku seperti sudah seperti orang bersujud. Bapak itu menyentuh pundakku, aku terbangun dengan linangan air mata. Beliau menunjukkan kearah pesawat yang terbakar itu. Aku lihat sosok pria memakai jacket kulit coklat muncul dan berjalan pincang. Itu sosok yang kukenal. Sosok yang menyebabkan aku mengeluakan air mata. Aku segera berlari dan memeluknya dibawah langit senja dengan hembusan udara dingin dimusim gugur. Dia mencium keningku dan mennghapus air mata. Untuk kali ini, aku tak ingin melepaskan pelukan Hadi.
”Aku bersedia dengan senang hati menjadi wanitamu. Menjadi nona Hadi Hartono” ujarku tersedu-sedu.
“Benarkah?? Sudahkah jangan menangis. Kitakan akan segera menikah” ledeknya dengan tawanya yang khas.
“Kenapa masih sempat tertawa?? Dasar Hadi gila. Jangan diulangi lagi ya” kataku sambil memukul punggungnya pelan.
Kami terlalu terhanyut oleh suasana sore itu.
***
Tiga bulan kemudian kami melangsungkan pernikahan. Kami memasang foto saat di Luxemburg sebagai foto prewedding saat persta pernikahan yang kami adakan di Jogja, Indonesia. Dan kebetulan juga, Hadi dipindah tugaskan di Indonesia. Hal itu telah 6 tahun lalu berlalu. Kami telah memiliki bidadari kecil bernama Salsa Hartono. Ini adalah kedatanganku yang kedua di kota dimana aku dan Hadi dipertemukan. Kami berada di taman saat aku pertama kali bertemu. Saat kecelakaan mobil itu.
“Mamaaa...” celotehan Salsa selalu membuatku bahagia. Bidadari itu memberiku setangkai bunga lotus ditangannya.
“Iyaa sayaang, ooh terimakasih” aku datangi kedua orang yang sangat berarti dalam hidupku itu. Kami memutuskan untuk tinggal disini untuk satu tahun kedepan. Mengenang masa-masa indah bersama Hadi, dan hasil buah cinta kami.
Ditaman itu Hadi memelukku. Dibangku panjang disebuah taman melihat malaikat kecil kami bermain dan tumbuh dengan kami.
“Amour Alina” ungkap Hadi dengan tatapan dalam.
“Amour “ balasku dan memeluknya dan menyandarkan kepalaku dibahunya.
Cinta kami bersemi dimusim gugur.

Komentar

Postingan Populer