Our Short Story Begins
Seperti
takdir yang terjadi, seperti air yang mengalir. Pertemuan singkat yang
terabaikan itu terjadi. Berbondong-bondong orang yang ketakutan berlarian
mencari kelompoknya masing-masing. Teriakan-teriakan bergaung dimana-mana.
Suara petasan dan bau bubuk mesiu menambah ketakutan. Terdengar namaku
dipanggil, saat itu aku masuk kelompok 6. Berharap kelompok ini akan akur dan
bisa diajak kerjasama yang baik. Ya, aku menemukan mereka. Terlalu banyak
perempuan-perempuan cerewet dan complicated disini. Terbukti terlalu banyak
yang ingin mengatur tapi tidak bisa diatur. Di basecamp sementara yang sempit
dan jorok, kami berusaha menyatukan kekuatan dan fikiran. Jelas saja aku tidak
bisa masuk ke pemikiran orang-orang yang terlalu kampungan seperti mereka, tapi
aku juga tetap berusaha untuk menjaga kekompakan. Disini tidak ada yang saling
tahu, tidak ada yang saling kenal. Dalam situasi seperti ini kami juga harus
dituntut untuk cepat kenal, cepat akbrab dan mengetahui karakter pribadi
masing-masing. Aku mulai mengamati dan menghafal mereka satu persatu. Tempat
ini terlalu gelap, aku tidak telalu bisa mengamatinya dengan baik. Seorang pria
yang tingginya sekitar 160cm, dengan kulit yang hitam pekat karena sering
terbakar matahari duduk dipojokan ruangan itu. Tubuhnya sedikit gemuk berisi,
wajahnya terlihat lesu karena kelelahan. “Heh, siapa namamu?”, kataku songong.
“Seno” jawabnya singkat. Dia kelihatan
baik walaupun wajahnya sangar dengan dandanannya yang menjijikkan seperti tidak
pernah terurus. Dia bahkan terlalu ramah, terlebih lagi dengan wanita-wanita
disini, kecuali aku yang sama sekali tidak ingin mengenalnya lebih. Aku tidak
terlalu memperdulikannya lagi. Malam itu berlalu dengan begitu saja. Berakhir
dengan cuek-cuek saja.
Esoknya setelah ospek institut, kami
kembali dikumpulkan untuk kerja kelompok membuat perlengkapan untuk esok hari.
Bagiku jauh dari orang tua sudah sangatlah berat, ditambah lagi ospek yang
dikenal garang ini. Benar-benar awal dari penderitaan dan perjuangan. Sudah
menjadi konsekuensi aku memilih melanjutkan studi di Jogja. Berharap
penderitaan ini cepat berlalu. Malam ini kami disibukkan dengan berbagai
perlengkapan yang susah dicari, bukan karena tidak ada tapi sudah terlalu malam
untuk mencarinya. Aku perhatikan lelaki itu dengan tidak sengaja. Sibuk
sendiri, rajin sendiri. Aku fikir dia lebih cocok diajadikan ketua dari pada
wanita itu yang bisanya hanya mengatur hal-hal yang tidak jelas. Bajunya tidak
karuan, menjijikan dan tidak cocok dengan style nya. Malam itu aku hanya bingung
harus berbuat apa, harus kerja apa, harus bantu apa. “Yah, sini bantuin”
katanya ramah. “Bantu apaan??” kataku bingung. “Ini pasang tali untuk tas, ayo
biar cepat selesai” sambungnya kembali. “Yaudah, gampang” jawabku. “Yaah, aku
pinjem sendalmu ya” tanyanya. Logat jawanya kental sekali. Setiap kali
berbicara dia tidak bisa menyembunyikan senyum kecilnya. “Iya, tapi jangan
lama-lama ya” “Boleh gak nih?” godanya. “Iyaaa boleh, pake aja” jawabku kesal.
Kemudian dia pergi untuk membeli beberapa perlengkapan lainnya.
Malam telah larut, semua sudah lelah
tapi perlengkapan belum juga selesai. Aku memutuskan untuk pulang duluan. Besok
jam 4 pagi harus sudah berkumpul ditempat ini lagi.
Mata masih ingin terpejam, tapi
dituntut harus bangun. Sudah pukul 3 pagi. Harus segera mandi dan bergegas agar
tidak terlambat. Berharap hari ini cepat belalu. Jam 5 kami berbondong-bondong
menuju ke kampus. Suara teriakan itu sudah bergaung, suara sabetan kayu
berseteru, kobaran api terlihat dimana-mana. Kami berlari-lari seperti sandera
perang dunia. Beberapa saat kemudian, truk-truk dari brimop datang satu
persatu. Jantung semakin berdebar karena takut, apa lagi yang akan terjadi.
Kami disuruh masuk ke truk itu dan dibawa ke suatu tempat. Yap!! Lapangan
brimop. Kali ini benar-benar akan dijadikan polisi dalam sehari. Sesampainya
disana kami dipanggang dan diberi latihan baris berbaris. “Siapa yang merasa
sakit tunjuk tangan?” salah seorang pelatih kami dari brimop bertanya dengan
lantang. Kulihat si seno menunjukkan tangan. Tidak kelihatan kalau dia sakit,
yang jelas dia kelihatan lemas. Mungkin efek tidak tidur beberapa hari. Setelah
ke UKS untuk beberapa saat dia kembali, dan siap untuk ikut latihan.
Benar-benar salut dengan anak satu ini. Setelah satu harian dipanggang, baju mahal,
celana yang masih baru, muka, dan tangan dicat akhirnya ospek selesai. Setelah
penyiksaan ini berakhir, akhirnya aku lega. Kami dipulangkan. Sesampainya
dikampus, ternyata ada beberapa senior ilegal yang telah menghadang. Kami
berlarian dan sembunyi dikosan salah satu teman sekelompok. Sampai akhirnya
aman, kami baru bubar. Sudah malam memang, aku nekat untuk pulang kerumah
simbah untuk cari aman.
Semua sudah berlalu, tidak ada yang
tahu apa yang akan terjadi besok. Begitu juga aku yang tidak pernah memikirkan
dia. Hingga beberapa minggu kemudian dikesempatan yang tidak terduga kami
dipertemukan lagi. Malam itu dia datang kekosan temenku, yang memang sekos
dengan ku. Entah kenapa malam itu aku keluar, padahal biasanya hanya mengunci
diri dikamar. “Eeh, Dyaaah” sapanya kaget. “Hey, Senooo” kataku. “Kosan kamu
disini juga too?” tanyanya. “Iyaaa”. Malam itu kami kembali membahas ospek yang
suram itu dengan candaan yang membuat aku tertawa. Kemudian dia mengajakku
kekosan salah seorang temannya yang jaraknya gak jauh, mereka lagi sibuk
ngerjain tugas lukis dasar. Karyanya bagus-bagus. Membuat aku hanya bengong dan
heran. Karena sudah terlalu malam, dan sudah diusir oleh ibu kosannya. Aku
akhirnya pulang.
***
Seusai pulang kuliah sekitar pukul 3
sore, HP ku berdering. Menunjukan ada satu pesan diterima. Ada sms dari Seno. ‘Yah, kamu dikosan kan? Aku ke kosanmu
ya??’. Lalu hanya ku balas singkat. Tidak lama dia datang. Kelihatannya dia
memang tipikal orang yang jarang mandi. Mengenakan baju hitam berkerah, dan
celana jeans pendek yang jorok dengan coretan cat, dia datang seperti orang
dikejar hutang. “ Kenapa sen?”, tanyaku polos. “Pinjem HP yah untuk sms ibuk”
jawabnya. “Yaudah ini pake aja. Jadi kamu kesini cuman mau minjem Hp?” kataku
sambil menyodorkan Hp. Aku kembali fokus dengan laptop didepanku. “Iyaaa, aku
numpang ngecas ya yah”, dia sibuk sms dan mencolokan casan Hpnya. Ini anak
benar-benar aneh. Kirain ada hal penting yang harus ditanyakan, gak taunya
cuman minjem Hp untuk sms, batinku. “KTP ku ilang yah, mau ngambil duit gak
bisa. Aku udah gak ada duit sama sekali ini, mau beli cat juga” keluhnya. “Loh
kok bisa hilang gimana??? Kok ngambil duit harus pake KTP??? Kenapa gak
ditransfer lewat ATM aja?” tanyaku panjang. “Iyaa, aku lupa. Kayaknya masih ada
di tas kemarin, tapi kucari gak ada. Eh ada modemnya to, aku minjem untuk
facebookan yah”. “Yaudah, pake aja”. Tidak lama hp berdering, ibunya menelfon.
Segera dia bergegas ke Indomaret, seperti orang bingung. “Yaudah, aku ke
indomaret dulu ya yah, nanti aku kesini lagi” “Yowes, woles” “Eh... ikut aja
yuk yah” katanya. Buset ini orang. Akhirnya aku ikut ke indomaret naik motor
yang spedomaternya sudah hilang dihempas angin. Sepanjang perjalanan dia cerita
panjang lebar tanpa henti, padahal aku gak ngerti dan gak mendengar sama sekali
apa yang dikatakannya. Semua dialognya menggunakan bahasa jawa. Sampai di
Indomaret, ternyata uang itu memang tidak bisa diambil tanpa KTP. Ibunya
bolak-balik nelfon dan ternyata memang tidak bisa. “Sen, kita pulang dulu aja
nyari KTP mu lagi” saranku. “Ooh yaudah”. Setelah itu kami pergi kekosan
temannya, disitu ada barang-barangnya yang habis-habisan di bongkar, dan memang
tidak ada. “Yaah, aku cari kerumah masku aja dulu yaa di nagan” “Yaudah, ayo
tak ikut sekalian”. Dirumah itu kelihatan seperti rumah para pelukis. Cat,
kanvas, bingkai kayu, dan kertas-kertas berserakan. Terlebih lagi diatas dimana
dia biasanya tidur. Seperti kamar yang tidak terurus penuh dengan debu, dan
banyak tumpukan berim-rim kertas. Bahkan aku bingung, untuk mencari KTP kecil
ditempat yang kotor dan berantakan ini. Akhirnya aku menyerah, dia pun
menyerah. Entah bagaimana nanti aku juga tidak tahu. Kami memutuskan untuk
pulang.
Setelah kejadian itu, dia sering
main kekosanku. Selalu menyempatkan kesini walaupun sebentar. Selalu
menyempatkan untuk cerita, walaupun itu hal yang tidak penting, Selalu
menyempatkan untuk tidur sejenak walaupun hanya berbantal keset. Aneh, lucu,
sederhana, tapi rumit. Itu yang bisa kutangkap setelah mengenal dia.
Aku tahu, saat itu dia sedang
menyukai seorang gadis, yang pernah menjadi rekan dalam kelompok ospek. Tidak
tahu kenapa, tapi dia sangat menggilainya. Terlihat dari pesan-pesan
difacebook, wall-wallan, atau sms-sms singkat mereka. Aku tahu, aku baca
benar-benar. Bahkan aku mendukung dia agar bisa dekat dengan gadis itu. Pernah
suatu ketika aku pertemukan mereka berdua. Salah tingkah itu yang terjadi. Aku
tahu dia bukanlah orang yang jentleman, dalam situasi tertentu. Dia itu terlalu
pemalu.
Suatu ketika, status facebooknya
lagi-lagi membicarakan gadis itu. Dan bukan maksudku untuk menghancurkan
hatinya. Tapi aku hanya berterus terang, karena tidak ingin dia semakin terluka
dalam. Aku menuliskan coment. ‘Telat lu,
dia udah jadian sama anak kriya’. Mungkin beberapa saat setelah itu aku merasa
sangat bersalah. Dia seperti putus asa. Bukan apa-apa, tapi gadis itu memang
sedang dekat bersama orang lain. Gara-gara komentar itu dia minjadi
gila-gilaan. Hanya tidur saja, tugas diabaikan, hujan-hujanan, bahkan
menorehkan amarah-amarahnya.
Beberapa hari kemudian, tengah malam
dia mengirimkan pesan singkat. Ajakan untuk keluar. Yang jelas saat itu sedang
gerimis. Pertama kalinya hujan yang kurasakan di kota jogja. Mengingatkan
kembali akan sahabatku Lintang yang telah tiada. Malam itu kami keluar untuk
ngopi dibelakang kampus. Dia melihatku tidak bersemangat, dan hanya diam saja.
Sambil tersenyum, dia terus saja menghiburku dengan ledekan-ledekannya yang
usil. Tidak lucu. Tapi setidaknya dia sudah berusaha untuk menghibur. “Yaah,
bayarin yaa” katanya. “Gak mau, yang ngajak kan kamu. Ini duitku cuman segini.
Recehan semua” kataku. “Kalo gak mau bayarin, pulangnya jalan yaa” ledeknya.
“Aah, kan tadi kamu udah janji bakalan nganterin pulang” rengekku. “Kan janji
bisa diingkari, makanya bayarin yaa” candanya lagi. “Gaak mau, yaudah ayoo
pulang”. Setelah itu dia ngambil motor, dan lagi-lagi dia bercanda. Setiap kali
aku mau naik, dia buruburu nge-gas motornya. Hal itu terjadi sampai beberapa
kali. Sampai orang-orang ngelihatin. Aku balas becandanya dengan pura-pura
ngambek. Aku jalan, dan tidak mau memperdulikannya. Di rayu-rayunya sambil
bercanda. “Yaudah, ayo naik mau gak??” katanya. “Gak mau, pulang sendiri juga
berani” “Bener nih, yaudah aku pulang ya”. Aku hanya diam. Kali ini dia
benar-benar menghentikan motornya. Dengan sigap aku naik, dan digasnya motor
itu. Sepanjang jalan aku pukul punggungnya, dan kami tertawa dibawah
rintik-rintik air hujan. Sejauh ini kami hanya teman biasa, teman baik, teman
main, dan aku menganggapnya sebagai kakak yang baik.
Berminggu-minggu kemudian, dia
sering mengirimi pesan singkat. Sering mengatakan kangen. Dari sini aku sudah
mulai curiga. Tapi apa mungkin secepat itu.
17 Oktober 2012 , seperti biasa dia
main kekosanku. Kebetulan saat itu aku sedang tidak sibuk. Dia bilang pinjam
laptop. Dibongkar-bongkarnya foto-foto dari jaman baholak. Foto dari
jaman-jamannya alay sampai sekarang. Bahkan dibacanya tulisan-tulisanku. Dia
tahu aku pernah menyukai seseorang yang sampai sekarang masih terbayang. Dia
tahu bahwa ilustrasi yang kugambar adalah orang itu. Dia lihat ada foto-fotoku
bersama orang itu. Dan aku tahu dia cemburu. Tapi dia bukanlah orang yang mudah
mengatakan apa yang dirasakannya. Tapi malam itu diberanikannya mengatakan hal
yang sejujurnya walaupun dia ragu. Diungkapkannya, dari awal pertama bertemu,
sampai aku sering menolongnya. Katanya dia memang pernah menyukai gadis itu.
Dia bahkan sudah nmenceritakannya dengan salah satu teman dekatnya, dia sudah
memutuskan dari jauh hari untuk melupakan gadis itu. Malam itu juga, dia nekat
mengatakan bahwa dia menyukaiku. Lucunya, dia mengungkapan itu dibawah bantal,
sehingga tidak terlalu terdengar jelas. Malu katanya. Aku hanya tertawa. Aku
meledeknya, seperti biasa dia meledekku. Dari ungkapan dia saat itu, sebenarnya
aku masih ragu. Aku takut kalau itu hanya pelampiasan. Aku takut kalau itu
hanya sementara. “Yaudah, sekarang udah lega kan? Jadi aku juga gak harus jawab
apa-apa?” kataku. Dia merengek seperti anak kecil. Aku juga saat itu bingung
harus apa. Jujur aku juga belum mau pacaran, dan belum punya feeling yang lebih
sama dia. Walaupun, aku pernah menceritakannya sama ibu, pernah menyukainya
walaupun sedikit.
Life must go on. Bukan berarti aku
menutup hati karena masih menyukai orang itu. Berhari-hari aku berfikir harus
jawab apa??? Ibu bilang ikuti kata hati. Aku pastikan orang yang pernah kusukai
tidak pernah menyukaiku. Hanya untuk memantapkan hati.
21 Oktober 2012, dia kembali datang.
Setelah sibuk seharian karena ada event melukis di ulang tahun Kedaulatan
rakyat, salah satu nama surat kabar di Jogja. “Dari mana aja seharian?” tanyaku.
“Melukis di ulang tahun KR” “Melukis apaan?” “Ngelukis kamu”. “Aaaah, bohong”
“Yaudah kalo gak percaya”. Pada dasarnya aku memang tetap gak percaya, dia
bukan orang yang suka melukis manusia. Aku tahu benar gaya lukisannya aneh. Malam
itu aku menanyakan beberapa hal. Dan malam itu juga aku mendengar komitmennya.
Dia bilang ‘Yah, aku punya komitmen kalau aku itu gak bisa ngasih apapun kalau
uangnya masih dari orang tua, aku bakalan ngasih kalau uang itu dari hasilku
sendiri’. Buset ini anak bagus banget komitmennya. Lagian aku juga bukan
tipikal orang yang suka nuntut untuk dibelikan sesuatu. “Heh, kamu mau
jawabannya nggak?” “Jawaban apa?” lagaknya pura-pura begok “Yaudah deh gak
jadi” “Iyaa, iyaa. Apa jawabannya?” “Eeem yowes” “ Yowes apa?” “Yowes pokoknya,
ngerti sendiri lah” “Aaah, emoh aku harus yang jelas, yowes apa?” “Aah gak mau
ah malu” “Yaudah bisikan aja” “Yoooweees” kataku panjang “Yang seriuslah, kan
kemarin aku juga jelas ngomongnya” “Emmm Yooooweees” ulangku lagi “Cepet tooh,
bisikin aja” dia mendekat. Aku semakin malu, tapi juga tidak bisa
menyembunyikan senyum “Yooowes, aku mau jadi pacarmu” Kataku cepat. “Huahaha,
Yess!!! Aku seneng buaanget” katanya
gembira. “Udaah kan?? Puas?” kataku galak. “Udaah-udaah, ya ampun aku seneng
banget hari ini. Yah, semangati aku toh” “Senooo, go go semangat” kataku riang.
Tidak lama kemudian temennya nelfon, dia dia bergegas pulang kekosannya. Dia
sering main kekosan. Kalau bukan untuk becanda apalagi. Tipikal orang seperti
dia, bukan orang yang serius. Tapi bukan berarti tidak serius. Dia itu orang
yang serius, tapi seriusnya tetap dalam bercanda. Hal yang pertama aku suka
dari dia adalah kesederhanaannya.
28
Oktober 2012, aku seharian bersamanya. Dia pameran. Bahkan sampai malam kami
bersama. Bau minyak tawon, hal yang kuingat terakhir. Setelah malam itu aku
jarang berkomunikasi dengannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Hingga
sekarang tetap tidak ada komunikasi. Hanya beberapa kali dikampus melihatnya
dari jauh. Sepertinya sedang ada masalah yang berat. Aku hanya ingin memahami
dia lebih. Memberikan dia waktu untuk menyelesaikan masalahnya. Aku berharap
dia kuat, dan masalahnya cepat selesai. Dan berharap dia cepat kembali seperti
biasa.
Komentar
Posting Komentar